Jodoh dan Kedewasaan Kita
Muslimah. Kemana pun mereka melangkah,
pertanyaan-pertanyaan “kreatif” tiada henti
membayangi. Kapan aku menikah? Aku rindu seorang
pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda
menggendong bayi, kapan giliranku dipanggil ibu? Aku
jadi ragu, benarkah aku punya jodoh? Atau
jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?
Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita.
Kebanyakan orang ketika berbicara soal jodoh selalu
bertolak dari sebuah gambaran ideal tentang kehidupan
rumah tangga. Otomatis dia lalu berpikir serius
tentang kriteria calon idaman. Nah, di sinilah segala
sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu berawal. Pada
mulanya, kriteria calon hanya menjadi ‘bagian
masalah’, namun kemudian justru menjadi inti
permasalahan itu sendiri.
Di sini orang berlomba mengajukan “standardisasi”
calon: wajah rupawan, berpendidikan tinggi, wawasan
luas, orang tua kaya, profesi mapan, latar belakang
keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas keshalihan.
Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya ringan,
“Apa salahnya? Ikhtiar tidak apa, kan?” Memang, ada
juga jawaban lain, “Saya tidak pernah menuntut. Yang
penting bagi saya calon yang shalih saja.” Sayangnya,
jawaban itu diucapkan ketika gurat-gurat keriput mulai
menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar
senyum pun mahal.
Langganan:
Postingan (Atom)